MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SISTEM MULTIPARTAI DAN DAMPAKNYA
DALAM KEHIDUPAN POLITIK
DISUSUN OLEH:
APRIZAL GUSRIANTO A1C410
APRIANI PITRI ELSA A1C410010
ELMIYATI A1C410008
GUSTRI RAHAYU A1C410007
IDA HUSNI A1C410028
INAYATI AL RAHIM A1C410004
RAHMAWATI A1C410
PROGRAM PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2010 / 2011
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………………… 1
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 2
BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………. 34
2.1 Sistem Multi Partai di Indonesia…………………………………. 89
2.2 Fungsi Partai Politik………………………………………………. 100
2.3 Sistem Kepartaian………………………………………………… 90000
2.4 Dampak Sistem Multipartai………………………………………. 33
2.4.1 Konflik Kepentingan di dalam Sistem Multi Partai………. -1
2.4.2 Fungsi Partai Politik yang Tidak Terlaksana……………… 5%
BAB III. KESIMPULAN………………………………………………. 4,6
Daftar Pustaka…………………………………………………………… 88
BAB I
PENDAHULUAN
Politik terbentuk karena adanya aspirasi-aspirasi dari masyarakat dimana masyarakat atau setiap golongan ingin membentuk sebuah badan atau organisasi yang mampu membawa kemajuan bagi Negara tersebut.hal ini memerllukan spirit atau kekuatan yang mengundang satu kesatuan untuk membentuk kehidupan berpolitik di era sekarang sudah mendarah daging di Negara-negara, khususnya Indonesia. Karena di Indonesia menganut ystem multipartai.
Mereka yang berpolitik mempunyai visi dan misi masing-masing yang intinya biasanya untuk kesejahteraan Negara. Kesejahteraan Negara yang mereka maksud juga berbeda-beda, tergantung jenis partai politik yang mereka pakai. Ada yang menyangkut agama, ekonomi, pembangunan, kesehatan, dan lain-lain.
Indonesia menganut system demokrasi, yang artinya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia membebaskan bagi siapa saja yang ingin membuat partai politik. Mereka atau setiap golongan yang telah berpolitik tersebut saling berebut suara untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Ada yang saling bekerja sama antara partai politik yang satu dengan yang lainnya. Tetapi tidak sedikit pula yang saling menjatuhkan politik yang satu dengan yang lainnya.
Karena system multipartai ini memiliki dua dampak, yaitu:
1. Dampak positif; system multipartai menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik.
2. Dampak negative; system multipartai memberikan dampak persaingan yang tidak sehat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SISTEM MULTI PARTAI DI INDONESIA
Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum.
asasi tersebut terwujud dalam institusi partai politik. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai PolitiK mendefinisikan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Tidak ada negara demokrasi tanpa partai politik. Karena itu partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizen).
Indonesia menganut paham paham demokrasi yang artinya kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang selanjutnya dijalankan melalui mekanisme pelembagaan yang bernama partai politik. Kemudian partai politik saling berkompetisi secara sehat untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan negara melalui mekanisme pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Dalam demokrasi, partai politik merupakan pilar utama (bukan kedua atau ketiga), karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif, yaitu presiden dan wakil presiden. Sebagaimana dirumuskan dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat (2), bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya hak itu secara eksklusif─hanya partai politik yang disebut UUD 1945─diberikan kepada partai politik.
Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sangat rasional argumentasinya jika upaya penguatan partai politik dibangun oleh kesadaran bahwa partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat penting untuk pembangunan demokrasi suatu bangsa. jadi, derajat pelembagaan partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu Negara.
2.2 FUNGSI PARTAI POLIITIK
Pada umumnya, para ilmuan politik biasa menggambarkan adanya empat fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo meliputi:sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik (political socialization), sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan pengatur konflik (conflict management). Sementara dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik mencakup mobilisasi dan integrasi, sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), sarana rekrutmen politik, dan sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Dalam UU No. 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik, bahwa fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana: (i) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas; (ii) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat; (iv) partisipasi politik warga negara Indonesia; dan (v) rekrutmen politik.[8]
Kesemua fungsi partai politik tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide, visi, dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau menjadi materi[9] dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik disosialisasikan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dalam sosialisasi itu partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik[10] bagi masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[11]
Fungsi selanjutnya partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik. Partai dibentuk memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin[12] dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan kesetaraan dan keadilan gender.[13]
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik. Peranan ini berupa sarana agregasi kepentingan yang berbeda-beda melalui saluran kelembagaan partai politik. Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.
2.3 SISTEM KEPARTAIAN
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.[15]
Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang dikenal secara umum. Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari pola perilaku dan interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem multipartai.[16]
Selain itu, cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang dikembangkan Giovani Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori, sistem kepartaian tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit, melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem. Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartain Indonesia di masa lalu, kini, dan mendatang. .[17]
Dalam sejarahnya, Indonesia telah mempraktikkan sistem kepartaian berdasarkan pada sistem multipartai. Meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda.Pada pemilu pertama tahun 1955─sebagai tonggak kehidupan politik pasca kemerdekaan hingga sekarang―menghasilkan lima partai besar: PNI, Masyumi, NU, PKI, dan PSI. Jumlah partai yang berlaga dalam pemilu itu lebih dari 29 partai, ditambah independen. Dengan sistem pemilu proporsional, menghasilkan anggota legislatif yang imbang antara Jawa dan Luar Jawa. Pemilu dekade 1950-an 1960-an adalah sistem multipartai tanpa ada pemenang mayoritas.[18] Namun, di era demokrasi parlementer tersebut telah terjadi tingkat kompetisi yang tinggi.[19]
Memasuki era demokrasi parlementer yang ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden yang tujuannya untuk mengakhiri konflik ideologi antarpatai. Pada masa itu, sistem kepartaian menerapkan sistem multipartai, namun tidak terjadi kompetisi.[20]
Memasuki dekade 1970-an sampai Pemiliu 1971, Indonesia masih menganut sistem multipartai sederhana (pluralisme sederhana). Waktu itu ada sembilan partai politik yang tersisa dari Pemilu 1955. Kesembilan partai ditambah Golkar, ikut berlaga dalam Pemilu 1971. Fenomena menarik dalam Pemilu 1971 ini adalah faktor kemenangan Golkar yang sangat spektakuler di luar dugaan banyak orang. Padahal kalangan partai tidak yakin akan memenangkan pemilu. Hal itu didasari pada dua hal, yaitu ABRI tidak ikut pemilu dan Golkar belum berpengalaman dalam pemilu. Tetapi, setelah pemilu digelar, ternyata justru bertolak belakang, Golkar menang mutlak lebih dari 63%. Kemenangan itu menandakan Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru.
Pada era orde baru, sistem kepartaian masih disebut sistem multipartai sederhana, namun antarpartai tidak terjadi persaingan.[21] Karena Golkar menjadi partai hegemoni. Sehingga ada pendapat bahwa secara riil sistem kepartaian menjurus ke sistem partai tunggal (single entry). Kenapa? Karena Golkar hanya berjuang demi status quo.[22]
Pada masa reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai. Hal ini dapat dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi dan berserikat serta berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi memberikan ruang kebebasan, hasrat para politisi untuk mendirikan partai politik tersalurkan. Sebagai sebuah proses pembelajaran, fenomena menjamurnya partai politik mestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat yang sedang mengalami euforia politik.[23]
Pada Pemilu 1999, yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon tertutup (stelsel daftar) diikuti 48 partai peserta pemilu. Jumlah partai sekitar 140 buah, tetapi lolos verifikasi hanya 48 partai. Dari jumlah itu, keluar enam partai besar pemenang pemilu, yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Sistem kepartaiannya multipartai, dan tidak ada partai pemenang pemilu yang memperoleh suara mayoritas.[24]
Setelah dua kali pemilihan umum paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan.[25]
Pemilu 2004 adalah pesta rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Pasalnya, untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu secara langsung. Keberhasilan pemilu secara langsung telah mendaulat Indonesia sebagai negara paling demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika dan India.
Setelah dua kali pemilu paska reformasi dengan sistem multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan sistem yang diterapkan[26]
2.4 DAMPAK SISTEM MULTIPARTAI
2.4.1 Konflik Kepentingan di dalam Sistem Multi Partai
Di era Demokrasi Liberal, sistem multipartai sangat mendukung terciptanya kehidupan demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak berperan penting dalam kelancaran proses demokratisasi. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sangat berperan penting dalam penyaluran kepentingan ini terhadap pemerintah.
Empat partai besar saat itu mencerminkan begitu besarnya niat dari setiap massa partai untuk disalurkan aspirasinya. Empat partai besar tersebut adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mencoba menyalurkan aspirasi kaum nasionalis;Masyumi dan NU (Nahdlatul Ulama) menjadi wadah bagi umat Islam untuk menyalurkan kepentingannya; serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang merupakan wadah politik dari kaum Komunis yang saat itu juga menjadi bagian yang berpengaruh pada masyarakat Indonesia. (Lihat tabel pada akhir pembahasan yang menggambarkan peta kekuatan partai-partai politik dengan mengacu pada hasil Pemilu 1955).
Pada kenyataannya peranan setiap partai dalam menyalurkan aspirasi pendukung masing-masing, dihadapkan kepada dua pilihan,yaitu berusaha untuk menggabungkan kepentingan-kepentingan dari seluruh partai atau memperjuangkan kepentingan masing-masing dimana konsekuensinya adalah terjadinya banyak konflik antar partai. Ideologi dari masing-masing partai yang sangat mempengaruhi jenis kepentingan yang mereka perjuangkan terkadang menjadi alat untuk saling menjatuhkan.
Konflik antarpartai yang didasari oleh perbedaan ideology kemungkinan besar dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut. Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Karena itu suatu hal yang wajar apabila terjadi konflik diantara Masyumi dan NU, karena proses sosialisasi politik yang mereka terima berbeda. Terlebih lagi bila dua partai yang berideologi berbeda akan sangat besar potensi konflik yang ada pada proses menjalankan peran masing-masing, contohnya antara PNI dengan Masyumi yang berbeda dalam hal yang menyangkut peran Islam dalam negara. PNI menuduh Masyumi menggunakan simbol-simbol Islam untuk menentang simbol-simbol nasionalis. Masyumi menyangkal tuduhan ini dengan menyatakan bahwa perjuangan partai untuk “negara berdasarkan Islam”itu bertentangan dengan Pancasila. Contoh lain antara PKI dengan tiga partai lainnya. PKI dengan semboyannya, yakni : “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”[4], mencoba mencari pengaruh dengan mengatas namakan diri sebagai partai yang memperjuangkan hak-hak rakyat. rakyat.
Konflik-konflik diatas jelas membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan itu memang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai pada saat itu. Fungsi lain dari partai politik yang juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar partai adalah sebagai wadah rekruitmen politik. Terkadang setiap partai politik cenderung mempunyai sasaran tersendiri berupa kelompok-kelompok sosial untuk direkrut menjadi anggota partai yang turut aktif dalam kegiatan politik partai. Kecendrungan ini berdampak kepada adanya suatu pengidentikkan suatu partai dengan sebuah kelompok sosial didalam masyarakat. Contohnya PKI yang identik dengan kelompok petani, karena memang sasaran utama dari rekruitmen politik yang dilakukan oleh PKI adalah kalangan petani. Masyumi identik dengan kelompok Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik dengan NU. Dan PNI pun dengan konsep nasionalismenya di identikkan dengan kaum elit pemerintah yang mempunyai prinsip mempertahankan jiwa-jiwa nasional. Adanya pemisahan secara extrim kelompok-kelompok sosial ini dapat memancing terjadinya konflik antar kelompok sosial tersebut sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Sama halnya dengan sulitnya tercipta integrasi politik disebabkan adanya konflik antar partai politik yang ada.
2.4.2 Fungsi Partai Politik yang Tidak Terlaksana
Selanjutnya, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik sepertinya tidak dapat diperankan secara sempurna oleh partai-partai poltik yang ada pada era Demokrasi Liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Merujuk pada kenyataan yang terjadi pada saat itu. Partai politik tidak memprioritaskan programnya kepada usaha untuk tercapainya integrasi nasional, melainkan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing.
Ke-empat fungsi partai yang diperankan oleh partai-partai politik pada sistem multi partai sungguh cenderung mengacu pada terjadinya konflik. Namun hal ini tidak membuat sistem multi partai menjadi tidak relevan di suatu negara demokrasi, karena bila merujuk kepada definisi partai politik yang di kemukakan oleh Sigmund Neumann, maka apapun sistem yang digunakan, tetap tidak akan dapat merubah sifat dari partai politik itu sendiri, yaitu berusaha untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan antar partai yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisasikan potensi konflik adalah dengan mengadakan perubahan yang menyangkut cara-cara merebut dan mempertahankan kekuasaan, mencari dukungan dengan meninggalkan cara-cara yang mengarah kepada anarkisme, seperti tuduhan-tuduhan, tudingan-tudingan, dan lain-lain. Cara-cara yang digunakan hendaknya bersifat lebih kompromistis melalui jalur-jalur dialogis, sehingga perbedaan yang memang suatu hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi tidak menjadi dasar dari timbulnya perpecahan, melainkan menjadi landasan terciptanya integrasi nasional yang mantap.
Beralih pada konteks Indonesia dampak dari sistem multipartai Membangun kembali indonesia yang demokratis dapat dilakukan melalui sistem keparataian yang sehat dan pemilu yang transparan. Sistem pemilu multipartai dan UU politik yang demokratis menunjukkan kesungguhan pemerintahan Habibie. Demokrasi di masa transisi tanpa adanya sumber daya manusia yang kuat akan mengakibatkan masuknya pengaruh asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah tantangan yang cukup berat juga dalam demokrasi yang tengah menapak.
Tahun 1999 tentang Partai Politik dan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum sebagai Tuntutan Fundamental Reformasi yang melahirkan Pemilihan Umum secara Multi Partai. Lahirnya Lembaga Legislatif yang merupakan representasi dari Oleh sebab itu perlu selalu disadari dan dipahami bersama bahwa bangsaIndonesia ini memang bentuk dari suku-suku bangsa yang memiliki budaya yang beraneka ragam. Langkah utama yang perlu ditempuh dalam rangka membangun kehidupan bagi Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang tidak dapat disangkal bahwa dampak praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Masalah pokok yang dihadapi ialah bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara.Tercatat sudah 4 kaliIndonesia berganti-ganti demokrasi, bahkan sudah beberapa kali pula kabinet silih berganti. Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai–partai politik, karena dalam system kepartaian menganut system multi partai. Maka, PNI dan Masyumi lah yang menjalankan pemerintahan melalui kerancuan dalam sistem ketatanegaraan; Perkembangan format politik di era multipartai memberikan dampak PolitikIndonesia = Tolak Carik Desa Jadi Dukun Politik = Kehidupan
Dampak Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959; 5 E. Kehidupan Politik pada dengan sistem multipartai dengan jumlah peserta 48 partai politik sah dalam konstelasi politikIndonesia
Dampak Lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959; 5 E. Kehidupan Politik pada dengan sistem multipartai dengan jumlah peserta 48 partai politik sah dalam konstelasi politikIndonesia
BAB III
KESIMPULAN
Sistem multi partai memang menjadi ciri khas dari sistem pemerintahan parlementer di era Demokrasi Liberal. Saat itu, peran partai politik dalam mempengaruhi situasi politik nasional sangat menonjol. Baik tidaknya pengaruh yang diberikan oleh partai politik terhadap situasi nasional tergantung bagaimana partai politik tersebut menjalankan fungsinya sebagai sebuah partai politik.
Kehidupan berpolitik lahir dari aspirasi-aspirasi masyarakat yang ingin dengan visi dan misi yang telah mereka buat sesuai kesepakatan.
Kebebasan berpolitik adalah bagian dari Negara demokrasi yang membebaskan rakyatnya untuk membuat partai, namun partai yang mereka buat harus memenuhi kreteria yang di tentukan Negara.
Kehidupan politik tidak lepas dari peranan pemerintah, karna pemerintah merupakan katalisator terhadap partai politik
Politik sangat membutuhkan peran warga Negara. Tanpa peran rakyat suatu politik tidak akan berkembang, karena suara serta dukungan rakyatlah yang menjadikan partai politik lebih kuat dan maju dalam mensebar luaskan visi dan misi mereka.
Dampak positif multipartai :
1) Demokrasi berjalan dengan baik
2) Inspirasi rakyat mampu menciptakan suatu partai
3) Rakyat bebas bersuara
4) Adanya oposisi antara partai satu dan yang lainnya
Dampak negatifnya :
1) Menimbulkan persaingan tidak sehat
2) Saling menjatuhkan antara partai satu dan yang lainnya
3) Banyaknya partai-partai politik dalam arti tidak sehat
4) Dan berujung pada permusuhan dan perpecahan di antara partai satu dan yang lainnya